Sore hari ini, aku sedang membuka surel lama ku, mencoba peruntungan dengan melamar pada perusahaan lain. Sudah ada beberapa email yang ku kirimkan kepada perusahaan yang membuka pendaftaran melalui jasa media penyedia lowongan kerja. Sambil kulihat syarat dan ketentuan, banyak yang mencantumkan “cv+portofolio” untuk bidang pekerjaan yang sedang ku geluti.
Seketika aku mencari tips mengemas cv beserta portofolio yang ciamik dari orang-orang professional yang ku kenal dari twitter. Aku buka akun mereka, aku cek satu persatu cuwitan mereka, adakah sebuah utasan mereka yang sesuai dengan kebutuhanku.
Namun pikiranku melayang jauh ketika aku mencoba membuat portofolio terbaruku. Aku ingat betul, pertama kali aku membuat portofolio adalah saat aku sedang mengambil kesempatan untuk bisa satu tim denganmu kembali. Iya kembali, karena sebelumnya kamu memang atasanku, namun karena lain hal, kamu harus memisahkan diri sendiri untuk beberapa saat.
Sempat ku tanyakan pada temanmu, “Kenapa dia harus pindah?”, “Ya memang kerjaannya yang mengharuskan begitu.”, sederhana jawaban temanmu.
Hari-hari berlalu, tanpa arahan darimu, tanpa makianmu, tanpa koordinasi denganmu, hingga suatu sore, kamu mengumpulkan kami, kamu berkata, “Gue lagi butuh orang, kerjaan gua makin banyak, jadi gua harus ada yang bantu, bagi kalian mau setim sama gua, bisa bilang ke gua langsung, nanti gua akan pertimbangkan. Kerja sama gua enaknya adalah bebas mau dimana aja kapan aja gua ga akan ngelarang, tapi gua mau kerjaan yang gua minta kelar tepat waktu.”
Pada saat itu, yang ada dibenakku adalah, harus aku yang setim sama lu, gaboleh yang lain. Gua harus terlihat layak jadi partner kerja dia. Mata ku sedikit melihat sekeliling, beberapa teman sejawatku yang menginginkan hal seperti yang ku dambakan menyorotkan mata ketertarikkan juga.
Beberapa hari setelah pengumuman di sore itu, aku mendengar kabar bahwa beberapa orang sudah menemui-mu untuk mengatakan maksudnya agar bisa menjadi partnermu. Aku pun memutar otak, apa yang bisa kulakukan untuk terpilih sebagai partnernya? Salah satunya adalah aku harus melampirkan bukti bahwa aku bisa.
Siang itu di depan kelas training aku mendesain portofolio ku, yang akan ku tunjukan kepadamu, esok hari, sebagai bukti bahwa aku bisa dan layak dipilih.
Sebuah desain sederhana ku buat, ku kirimkan padanya melalui pesan singkat, dengan sedikit tulisan berisi, “ini bisa jadi portofolio gua, untuk layak jadi tim lu belum?”. Sesungguhnya aku gak yakin sama yang ku kerjakan. Namun aku pasrah biarkan Tuhan yang mengabulkan keinginanku. Dia hanya tertawa membalas pesanku.
Beberapa hari setelah pesanku itu, manager ku mengatakan bahwa akulah yang akan bergeser ke tim dia. Yes! Sesuai yang sudah ku duga. Sombongku mulai keluar.
Malam hari dalam perjalanan pulang, kita menyusuri jalanan gelap, kamu bercerita bahwa memang sudah ada beberapa yang mengajukan diri sebelum aku, penasaran ku tanya, “Lalu kenapa aku yang dipilih? Dia lebih cantik, yang itu jago ngedit, gua ga ada apa-apanya.”. Jawabannya setelahnya membuatku cukup tertegun, “Karena gua gabutuh mereka, dengan segala sifat jelek gua, lu bisa nerima, lu bisa paham mood gua, lu tau ngadepin sikap jelek gua. Dan ga banyak orang yang bisa bertahan dengan itu.”. Aku cuma bisa mengangguk dan berkata, “Terima kasih sudah memilih gua, so apa kerjaan pertama gua dari lu?”.
“Besok bangunin gua jam 8 pagi.” mintamu sederhana.
Selanjutnya setiap hari, aku akan menelponmu berpuluh-puluh kali untuk membangunkanmu, menjadi rutinitas yang ku lakukan hampir dua tahun kebelakang.
Dan hari-hari setim denganmu, melakukan pekerjaan bersama, membuat kedekatan kita semakin dekat. Mungkin aku perlu berterima kasih pada portofolio, kalo saja waktu itu tidak ku kirimkan, mungkin saat ini kau hanya sekedar atasanku saja, tidak akan lebih.